Belajar Di Rumah Dengan Nge-Pram : Ngebaca Buku Pak Pram

Akibat Corona! Saya rasakan perempuan dan laki-laki dipaksa “merapat” dan rukun untuk sama-sama mencuci pakaian, berbelanja, memasak, menggendong bayi, menanam tumbuhan lucu di pekarangan, atau juga bersepeda mini mengitari kampung. Sebuah kemampuan bertahan paling mendasar. Juga dalam belajar, saya akhirnya banyak memeras nilai-nilai pembelajaran dari proses yang selama ini mungkin banyak dilewati. Saya berpikiran baik akan hal itu, kapan lagi kita belajar betah di rumah dan juga lebih akrab dengan para tetangga. Kita terlalu banyak dihimbau untuk plesiran karena Indonesia itu luas. Kita bahkan dipaksa menghias kolom halaman sosial media kita dengan hal-hal semenarik mungkin. Tertantang dan tertantang untuk kesana dan kemari, eh kadang juga lupa bahkan terlalu bosan untuk pulang ke rumah. Dan memang kebosanan adalah suatu hal yang wajar, dan tentu saat ini kebosanan itu harus diinterupsi dengan berbagai alternatif kegiatan. Cara belajar kita juga tak harus mengandalkan tatap muka dengan para guru maupun berkumpul banyak. Namun selain berkegiatan, kadang kebosanan melempar saya pada sebuah renungan. Iya merenung, karena melamun telah membuat siksa batin, saya merenung saja mempertanyakan segala hal dan keraguan. Mencoba mencari peruntungan untuk mendapatkan sekadar jawaban dari buku-buku dan bahkan drama korea. Dua hal yang dalam hari-hari biasa sulit untuk dilalui. Dan ternyata, indah. J

Secara formal, saya ini terpelajar. Setidaknya telah menempuh studi selesai S3, yaitu sekolah …, sekolah …, dan sekolah …  selama 12 tahun. Alhamdulillah. Puji Syukur. Eh tapi juga masih imbuh lagi, masih menambah masa agar tidak lekas bekerja.

Dalam renungan, saya teringat pada suatu perjalanan pulang dari belajar dengan naik angkot jurusan Jombang-Pare, di mana berbincang-bincang dengan orang asing yang beraneka ragam adalah hal yang kemungkinan besar akan terjadi, dan waktu itu saya  bertemu dengan seorang bapak-bapak berusia cukup untuk dikatakan pensiun pegawai. Seorang bapak-bapak supel, sangat akrab, airmukanya selalu penuh keceriaan dan senyum kebijaksanaan, dan memberikan nasehat-nasehat dengan cerita yang begitu mengalir jadi kesan menggurui tak begitu nampak. Namun saya punya dugaan bahwa seorang bapak-bapak ini bukan orang sembarangan. Kejadian itu sekitar tiga tahun yang lalu.

“Anak dari mana?”, tanyanya memulai pembicaraan

“Dari Yogya, Pak”, jawabku

“Kerja?”

“Pelajar, Pak. Bapak sendiri?”

“Baik”, beliau tersenyum lalu meneruskan, “Saya habis dari Solo kirim ikan lele. Ya sebenarnya bisa saya wakilkan, cuman merasa lebih asyik dan bisa mengetahui kalau saya sendiri juga ikut ke sana”

“Lele pak?”

“Iya nak, kan di sana banyak sekali pelajar seperti anak, dan lele menjadi salah satu bahan konsumsi yang cukup diminati. Di lingkungan seperti itu, prospek. Bukankah begitu, anak suka juga kan?

“Iya, Pak, mungkin dalam seminggu saya pasti makan lele kalau di tempat belajar”

“Sudah berpa lama, Nak? Tingkat berapa sekarang?”

Pertanyaan yang sangat sering diajukan, dan saya sendiri selalu melihat siapa penanyanya sebelum menjawab, untuk disesuaikan, karena saya menyimpan jawaban yang cukup fenomenal. Ya, setidaknya saya punya pengalaman fenomenal. Pengalaman yang menjadi kebanggaan di antara anak muda yang haus capaian: hal tidak biasa! Saya bisa menjawab dengan sangat jujur secara percaya diri, kadang berlaga sok asik, kadang juga sok nelangsa, kadang penuh kebijaksanaan, juga saya wibawa-wibawakan. Pokoknya pada waktu itu, saya telah menjadi pelajar lanjutan selama lima tahun dan belum jelas kapan selesai. Kali ini saya putuskan sedikit jaga image.

“Akhir, Pak”, senyumku ramah namun karena didahului jeda dengan tertawa kecil sepertinya Sang Bapak-bapak membaca sesuatu dan meneruskan dengan nasehat

“Syukurlah, semoga lekas selesai nak dan menjadi berguna. Begitulah pelajar, yang dilakukan adalah bagaimana baiknya dalam mengolah pikir. Bukankah begitu, Nak? Pelajar adalah seorang yang sedang dilatih untuk berolah pikir, setidaknya untuk kebaikan dirinya sendiri sebelum menjajaki dunia nyata yang sibuk dengan kegiatan mencari nafkah. Dan untuk menunjang proses itu perlu anak juga melakukan tirakat. Anak lancar sembahyangnya?”

Angkot atau Len sedang nge-time, di dekat stasiun jombang di sisi kiri jalan di selatan rel kereta api. Bapak itu terlihat telah akrab dengan siapa saja di sana dan bahkan beliau dipanggil “Pak Guru” oleh seorang kernet yang membantu mencari penumpang, “Pare, Pare, Pare” dan lantas disalimilah dari luar mobil Len Pak Guru itu lewat jendela. Pak Guru merogoh saku dan memberikan secercah uang berkah kepada kernet yang mungkin muridnya atau siapa itu yang terlihat takdzim terhadapnya. Kepada saya, Pak Guru, serasa telah memahami keadaanku. Nasehatnya yang seakan tahu keadaan olah pikir dan kegiatan penunjangnya padaku itu, namun dilakukan dengan cara sangat mengalir dan lembut syarat sebagai seorang yang paham makna olah pikir oleh pelajar. Dan dilanjutkan selama kurang lebih setengah jam lamanya dan banyak menyinggung hal penunjang yang begitu privat hingga beliau turun di perempatan Desa Bringin.

Pelajar dan olah pikir. Itu yang selalu terngiang dan saya ingat-ingat hingga sekarang. Pikiran untuk kebaikan. Kebetulan saya bukanlah pelajar dengan program studi penuh dengan hitung menghitung angka. Dan selama bersekolah selama ini hal yang saya yakini menjadi kegiatan yang paling “olah pikir” itu ya menghitung angka. Mungkin hal ini sangatlah lazim, bukan soal terkhusus, namun nasehat itu bagi saya menggunggah sekaligus memberikan harapan. Pikiran juga layak dilakukan meski yang tidak berujud pada angka-angka, yaitu pada kebaikan-kebaikan yang sifatnya sangat luas dalam kehidupan. Dan pikiran kebaikan itu selain berkutat dengan budi pribadi, juga orang lain serta sumber-sumber penunjang. Pikiran berlebihan atau yang akrab kita sebut overthinking barangkali adalah suatu resiko yang jamak terjadi dalam berolah pikir. Nasehat umum sering memberikan solusi agar tidak mengalami overthinking yang menyakitkan itu dengan berhenti berpikir, tidak usah berpikir! Dan mungkin selanjutnya saya artikan yang menjadikan kita semua cenderung malas berpikir. Hmm, iya nggak kita kok, saya aja gpp. Hehe.

Sebagai pemuda yang haus akan capaian juga haus akan nasehat bertemulah saya pada sumber-sumber penunjang bernama buku. Pramoedya Ananta Toer adalah penulisnya atau yang sering disebut Pram. Di sini saya memanggilnya sebagai Pak Pram sebagaimana halnya Pak Guru. Bumi Manusia adalah buku Pak Pram yang saya baca pertama kali. Sebuah novel yang berisi daging semua. Dari segi percintaan, sejarah, nilai-nilai kebangsaan, dan paling penting adalah sebuah buku yang wajib dibaca bagi kaum terpelajar. Seorang tokoh fiksi yang diangkat bernama Minke adalah sosok terpelajar yang tidak hanya berpikir untuk kebaikannya sendiri, berpikir untuk kesejahteraan dan kemapanan dirinya sendiri namun untuk juga untuk kepentingan bangsanya, saudara-saudaranya yang sedang dalam keadaan ditindas oleh penindas bernama kolonial dari Eropa juga bangsanya sendiri. Benang merah dari nasehat Pak Guru dilanjutkan secara mendalam dan khusus oleh Pak Pram dalam bukunya: “sebagai terpelajar, seorang harus adil sejak dalam pikiran.”

Minke diceritakan sebagai bangsawan Jawa yang mengenyam pendidikan Eropa. Jadi ingat Dodit Mulyanto, ya? Yang terkenal dengan punchline-nya di setiap pertunjukan komedinya,“meskipun saya Jawa, saya memegang erat budaya Eropa” itu. Apa Iqbal Dilan? Hehe. Minke barangkali juga merupakan tokoh khayal yang mampu mewakili atau merepresentasikan watak kita (iya..saya aja gpp kok) yang meski udik tapi maju, anak singkong tapi sukses, think global act local. Sebuah bentuk yang sama-sama mewakili kebaikan, antara budaya sendiri yang penuh kearifan maupun pengetahuan umum dunia. Dalam bahasa lain yang pernah saya dengar, kita adalah manusia hibrid, yaitu senang dengan mencampur adukkan segala sesuatu, bukan masalah ya? Hehe. Tapi kadang juga masalah juga nding. Hehe.

Kembali, bahwa pikiran yang muncul dari seperangkat kemampuan yang dianugerahi Tuhan bernama akal budi seharusnya dipergunakan baik-baik juga demi kebaikan. Semakin luas pikiran seorang manusia, juga akan semakin besar kebaikan yang seharusnya bisa diperjuangkan.

Tau-taunya, buku Bumi Manusia adalah bagian pertama dari keseluruhan empat bagian yang dinamakan Roman Tetralogi Buru. Saya ketagihan dan hingga sekarang telah habis tiga bagiannya. Dua yang lain setelah Bumi Manusia adalah Anak Semua Bangsa dan Jejak Langkah. Betapa terlambatnya saya sebagai (secara formal) terpelajar bertahun-tahun, namun baru beberapa tahun belakangan baru mengenal Pak Pram. Tentu banyak sekali di luar sana yang sudah mempelajari Pak Pram dan memang terbukti berserakan jejak-jejak digital dalam jaringan, orang telah membicarakan beliau. Ah, peduli amat, saya menikmati proses ini meski dianggap terpelajar kuno. Saya lega-kan diri saya sendiri dengan menganggap buku Pak Pram seperti halnya lagu “denting piano” atau “kuambil gitar” yang tak henti-hentinya kita dendangkan di mana-mana itu, sebagia lagu wajib tongkrongan, kita akan auto-nyanyi kalau ada lagu-lagu itu diputar. Dan kita tetap saja terhibur, melepaskan keresahan yang mengharukan. Bukankah begitu, hal-hal mengharukan adalah kesukaan kita? Hehe.

Saya pause dulu untuk membaca roman terkahir berjudul Rumah Kaca. Karena telah riuhnya informasi tentang buku Pak Pram, saya mendapat info bahwa ada buku tentang catatan beliau selama membuat Roman Tetralogi Buru itu. Catatan saat beliau dipenjara sebagai tahanan politik di Pulau Buru, Maluku. Saya kepo tentang latar dibikinnya roman luar biasa ini, kalau dalam film kita mungkin tahu tentang behind the scene, atau bahkan dalam bahasa saya adalah dapur Pak Pram sendiri dalam mengolah dan berhasil menghidangkan buku lezatnya di hadapan kita, mahakarya abad ke-20 dari Indonesia untuk dunia. Dapur itu berjudul “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” dan tau-taunya lagi, yang saya baca adalah bagian pertama dan masih ada satu bagian lagi, yaitu “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II”. Ah, makin kemrungsung saya ini. Semakin kaya-lah, khazanah keilmu pengetahuanan yang diberikan oleh Pak Pram kepada kita. Seperti seorang “eyang” bahkan yang memberikan nasehat kepada cucunya. Fyi, Pak Pram juga menyebut dirinya sendiri sebagai manusia Indonesia angkatan pertama. Pak Pram merasakan Indonesia dalam periode kolonial Belanda dan Jepang, kemerdekaan yang dilanjut Orde Lama Soekarno dan Orde Baru Soeharto. Pak Pram adalah sastrawan besar yang meninggal di tahun 2006 silam dan dari situ Pak Pram juga cukup mencicipi Era Reformasi sekaligus. Sebagai sastrawan, dinamika perjalanan bangsa dengan periode-periode penting di awal, dan bahkan sampai kepada kita generasi reformasi ini berhasil direkamnya melalui tulisan-tulisan beliau. Juga melalui interview-interview yang berhasil terekam dan mudah kita akses di berbagai saluran.

Jadi, selain Roman Tetralogi Buru yang berwujud novel fiksi sejarah itu, kita akan dibukakan lembaran sejarah bangsa kita sendiri. Bahkan bisa dikatakan lembaran hitam. Pak Pram keluar masuk penjara. Sejarah hidupnya adalah sejarah “perampasan”, begitu katanya. Penjara yang dirasakannya sebanyak tiga kali dalam tiga periode, dan yang terkahir, bahkan dikirim ke Pulau Buru tanpa persidangan, tanpa keadilan, dengan vonis salah yang dijatuhkan dan dibuktikan. Penjara paling lama adalah di bawah kekuasaan bangsanya sendiri. J

Oh…Apa kabar kemanusiaan di tengah kemerdekaan dan peradaban bangsa sendiri, ya? J

Total waktu yang dihabiskan dalam penjara adalah 14 tahun ditambah wajib lapor setelah dinyatakan bebas dengan keterangan tidak terlibat G30/S pada tahun 1979 hingga 90-an. Kelindan antara karya sastra, kehidupan pribadi, dan perjalanan kebangsaan oleh Pak Pram menjadi hal yang bahkan wajib diketahui oleh setidaknya kaum terpelajar Indonesia. Meski dalam masa panjang berada dalam kegelapan lembar hitam sejarah bangsa, Pak Pram masih mampu memegang konsistensinya sekaligus kreativitasnya di sekitar isu kemanusiaan dan kebangsaan. Dari segi kebermanfaatan, buku-buku Pak Pram akan memantik kita, generasi muda ini, untuk segera merangkum sebuah potongan sejarah yang segar dan setelah itu kita akan mampu melihat fenomena bangsa kekninian menjadi lebih jernih, dan tentunya juga mampu untuk melangkah ke masa depan dengan lebih percaya diri lagi.

Bukankah generasi kita ini dianggap “tidak seperti generasi jaman dulu”? Banyak mengalami kemerosotan mental dan moral, juga minim pendidikan karakter kebangsaan? Barangkali kita juga bosan dengan cara belajar dan bahan yang itu-itu aja. Ini lho ada bukunya Pak Pram, seru lho Rek!

 

_____________________

Samsul Wahab

Penulis adalah Tutor Partikelir

Recommended Articles