Oleh: Masarif Pakempir — Pare, 2020
Sebagai manusia kita tidak lepas dengan akar budaya di mana kita berada. Budaya tersebut menjadi bagian dari kehidupan dan salah satu bentuk jalur untuk menjadi makhluk sosial. Sosial yang dimaksudkan adalah sebagai sarana berkomunikasi dan bergaul dengan sesama manusia yang selalu bersinggungan di sekeliling kita. Dalam perjalanan budaya ini, tidak bisa dipungkiri banyak terjadi serapan atau akulturasi budaya dari satu daerah ke daerah yang lain. Namun terdapat budaya inti atau bisa dibilang prinsip yang menjadikan jati diri masyarakat di lokasi tersebut.
Nusantara ini—secara umum di Pulau Jawa dan secara khusus di Jawa Timur—banyak menyimpan budaya dasar warisan nenek moyang yang masih dilakukan hingga dewasa ini. “Wong Jowo ojo sampe ilang jowone.” Itu salah satu pepatah yang sangat sering kita dengar. Kalimat tersebut digunakan oleh orang-orang tua kita untuk mengingatkan agar kita selalu bisa menjunjung langit di mana kaki kita berpijak. Budaya timur yang santun dan sopan dengan masukknya banyak budaya asing yang masuk lewat berbagai macam media, semakin lama semakin terkikis. Coba kita tilik lebih lanjut mengapa hal tersebut bisa terjadi.
“Ndeso, kampungan, gak modern blas, ketinggalan jaman”, demikian kata-kata yang banyak didengungkan oleh penduduk “kota” untuk menyudutkan para manusia yang masih berpegang pada budaya daerahnya. Bukan berarti kita tidak diperbolehkan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru tempat kita tinggal nantinya. Namun lebih ke arah sikap minder yang mengakibatkan banyaknya manusia tersebut lebih memilih budaya asing yang bukan jati dirinya yang sejati. Hilangnya sopan santun, terlebih ke orang yang lebih tua hanya karena posisi ataupun kondisi sosial, jabatan, atau tingkat ekonomi yang di bawah kita menjadi hilang.
Situasi dan kondisi selalu berubah mengakibatkan kita harus selalu beradaptasi atau move on dari kondisi sebelumnya. Entah itu dari kondisi lingkungan, faktor kesehatan, atau bahkan dengan semakin bertambahnya umur, bisa juga karena patah hati, hehehe. Kembali lagi dengan budaya peninggalan nenek moyang. Banyak diantaranya bila dilihat dari sisi kebaikan, maka petuah-petuah tersebut dan kebiasaan jaman dahulu kala memiliki banyak manfaat yang tidak bisa kita remehkan. Kita lihat saja masalah sepele seperti menaruh kendhi di depan rumah yang digunakan untuk mencuci kaki-tangan sebelum masuk rumah. Banyak yang sudah melupakan meletakkan tempat air (kran) di beberapa rumah, namun di kondisi sekarang terkait dengan kesehatan, hampir setiap rumah sudah meletakkan tempat cuci tersebut.
“Ajining Dhiri Saka Lathi, Ajining Raga Saka Busana” adalah budaya lain yang menjadi dasar pembentukan diri. Di mana kita berada harus selalu menjaga ucapan dan juga berpakaian sesuai tempat dan kondisinya. Hal ini juga menjadi budaya yang banyak dilupakan, ucapan menjadi tak lagi kuat, kata-kata tak bisa dipegang kebenaran dan tanggung jawabnya. Sedangkan dalam berpakaian untuk sekedar mengikuti tren yang sedang popular saat ini, menjadikan budaya luar banyak diasimilasi atau dipakai.
Pendidikan mental dan moral yang bisa dikatakan mulai menurun mengakibatkan budaya berpakaian peninggalan leluhur disebut terlalu vulgar. Hingga bila terlihat di media televisi, harus disensor. Degradasi yang sangat parah yang perlu diberikan perhatian. Pakaian adat memiliki banyak filosofi dan arti juga memiliki simbol identitas manusia tersebut.
”Semua peningkatan dan pertumbuhan pribadi muncul berkat adanya sebuah kesadaran sederhana. Kesadaran itu adalah bawasannya kita secara pribadi bertanggung jawab atas segala hal dalàm hidup kita, tak peduli seperti apa kondisi di luar diri kita.
Kita tidak bisa selalu mengambil kendali terhadap apa yang terjadi pada kita. Namun kita selalu bisa mengendalikan cara kita menang sirkan segala hal yang menimpa kita, dan cara kita merespons.
Entah kita menyadarinya atau tidak, kita selalu bertanggung jawab atas pengalaman diri kita. Mustahil kita tidak bertanggung jawab. Memilih, dengan sadar, untuk tidak menafsirkan peristiwa dalam hidup kita tetaplah sebuah penafsiran terhadap peristiwa kehidupan kita. Memilih untuk tidak menanggapi peristiwa dalam hidup kita tetap saja sebuah tanggapan terhadap peristiwa tersebut. Bahkan jika Anda ditabrak mobil badut dan dibuat kesal oleh satu bus penuh anak-anak sekolah, Anda masih bertanggung jawab untuk menginterpretasikan makna di balik suatu peristiwa dan untuk memilih respons yang seperti apa.
Suka atau tidak, kita selalu berperan aktif dalam apa yang sedang terjadi terhadap dan dalam diri kita. Kita selalu menafsirkan makna dari setiap peristiwa dan kejadian. Kita selalu memilih nilai-nilai yang kita hidupi dan ukuran yang kita gunakan untuk menilai setiap hal yang terjadi pada kita. Sering satu peristiwa yang sama bisa menjadi baik atau buruk, bergantung pada ukuran yang kita pilih.
Intinya adalah, kita selalu menjatuhkan pilihan, entah kita sadari atau tidak. Selalu.”
Begitulah kutipan dari Mark Manson dalam bukunya Sebuah Seni Untuk Bertindak Masa Bodoh. Berarti sebagai manusia kita selalu dihadapkan oleh pilihan dan kita bertanggung jawab untuk itu hingga akhirnya kita turunkan kepada anak cucu kita. Pilihan-pilihan ini khususnya pada budaya dan perilaku kita sebagai manusia di mana kita hidup. Selalu bijak terhadap budaya bawaan atau asli kita dan budaya yang ada di sekitar kita sebelum memutuskan akan menggunakan budaya mana yang sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini.
“Masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang singa mengaum.”