Irigasi Kuno Peninggalan Nenek Moyang (1)
Peninggalan sejarah di Kecamatan Kepung begitu menarik untuk dibahas. Terutama sejarah tentang jejak peninggalan zaman kerajaan. Banyak bukti yang masih bisa dijumpai hingga kini. Salah satunya adalah bukti keberadaan saluran air kuno yang tersebar di beberapa desa. Bahkan sejumlah saluran air kuno itu sampai sekarang masih dimanfaatkan masyarakat. Begini tim Kabar Pare mengulik arung kuno yang masih ada di Kecamatan Kepung.
Penjelajahan itu bersama Komunitas Pelestari Sejarah dan Budaya Kediri (PASAK). Kami mengawalinya setelah dari upacara Melasti yang diselenggarakan umat Hindu Dharma Kabupaten Kediri. Acaranya digelar setiap tahun di Waduk Siman, Kepung. Upacara tersebut berlangsung sakral. Banten atau sesaji tampak diarak dari perempatan desa menuju waduk. Lokasi pembersihan sekaligus penyucian Bhuana Alit dan Bhuana Agung sebelum dilaksanakannya Nyepi.
Kata pemangku agama, makna dari upacara tersebut selain menjaga keselarasan hidup antara manusia dengan alam semesta. Harus tetap mengedepankan kerukunan,.baik sesama umat maupun antarumat beragama lainnya. Puas di lokasi melasti, Ketua Pasak Mas Novi BMW memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Seperti rencana awal, kami menuju Desa Brumbung. Dari sinilah penjelajahan arung dimulai.
Jalan bebatuan menyambut kami sebelum tiba di area Watu Tulis, Desa Brumbung. Sebuah kawasan bersejarah yang dulu banyak ditemukan benda purbakala. Saat ini sejumlah benda kuno itu diamankan di museum desa. Area Watu Tulis masuk wilayah Dusun Kebonagung. Sekitar 2 kilometer dari balai desa yang menjadi tempat menyimpan berbagai temuan benda purbakala.
Tiba di area watu tulis, kami bertemu dua orang petani. Mereka sedang mengairi sawah. Salah satunya Pak Maliyadi. “Arep ndelok guo to (mau lihat gua ya)?. Penak lewat kono (mudah lewat sana),” kata petani 60 tahun itu sembari menunjuk jalan setapak menuju lokasi gua. Memang, warga sekitar menyebutnya gua. Merujuk ke arung kuno yang sudah ditemukan puluhan tahun silam.
“Monggo tak terne. Enek telu. (Mari saya antar. Ada tiga),” imbuhnya. Tiga arung yang dimaksud salah satunya berbentuk sumur. Sementara dua lainnya adalah terowongan. Mirip seperti yang ada di Surowono. Lokasinya tak jauh dari lahan Pak Yadi. Membuat kami cukup mudah menemukan sumur yang dimaksud. Kedalaman sumur itu sekitar 5 meter dengan diameter berukuran 2 meter. Di dalamnya ada percabangan gua. Salah satunya mengarah ke tenggara. Sumur itu masih dialiri air yang cukup deras.
Tak jauh dari sumur tadi. Sekitar 100 meter ke arah barat, ada arung setinggi 1,5 meter. Dengan lebar 60 sentimeter. Kami coba masuk. Dengan posisi menunduk. Di dalam arung atau gua, kami sempat tercengang, sebab baru kali ini kami lihat ada arung mirip terowongan Surowono. Berbagai dugaan pun pun muncul. Pak Yadi mengatakan bahwa memang masih ada hubungannya antara arung satu dengan yang lain. Sementara pendapat lain ada yang menghubungkan kaitan arung di sini dengan arung di Keling dan Surowono. Yang jelas dugaan tadi masih bisa diterima. Namun penelitian lebih jauh tetap perlu dilakukan.
Masih di lokasi yang sama. arung kecil menjadi objek penjelajahan kami sebelum meninggalkan kawasan yang ada di area lembah tersebut. Kondisinya ebih sempit dari arung sebelumnya. Di arung ini, kami tidak bisa masuk. Hanya melakukan pengukuran dari bibir arung. Tingginya hampir sama. Tak lebih dari 2 meter. Kami hanya dokumentasi dan mencatatnya dari luar. Aliran air masih sama, di atas mata kaki dengan kondisi yang jernih.
Masih di area tersebut, kami sempat menemukan pecahan keramik. Sepertinya berasal dari Tiongkok. “Iya, deleh kunu ae. Ojo digowo,” ucap Mas Novi, ketua Pasak sembari berjalan meninggalkan arung. Tak hanya pecahan keramik, bongkahan bata merah kuno juga tak luput dari pandangan kami. Menjadi bukti bahwa di kawasan itu masih terdapat jejak peninggalan purbakala yang masih bisa dijumpai.
Jarum jam menunjuk angka 12. Kami kembali ke lahan Pak Yadi dengan menyusuri sungai jernih.Sungai yang mengalir di bawah rerimbunan pohon. Bak hutan heterogen di lereng pegunungan. Berbagai macam vegetasi tumbuh subur di sana.
Kata Mas Novi, arung di Desa Brumbung itu diduga kuat memang peninggalan zaman kerajaan. Sebagai sarana irigasi zaman dulu untuk berbagai macam kebutuhan masyarakat. Termasuk sebagai pengairan areal persawahan.
Dari Desa Brumbung, selanjutnya kami menuju arung yang ada di Desa Keling. Saat hendak menuju Keling, hujan tak bisa diajak kompromi. Tiba-tiba jatuh. Membuat kami bergegas menuju desa yang berada di utara Kecamatan Kepung tersebut. |Bersambung|