Kabarpare : Sebuah Sejarah Singkat

kabarpare

kabarpare.com – Bermula dari suatu pagi di Warung Tansu (ketan susu) tiga tahun silam, tepatnya di tanggal 5 Februari 2017, akun publik yang sok-sok an idealis ini tercipta. Seperti halnya kebiasaan di warung kopi, saya dan dua orang teman, larut dalam diskusi ngalor-ngidul mengenai mulai yang ringan-ringan sampai agak berat (karena tidak menemukan jawaban yang kuat). Obrolan terus mengalir mulai dari kisah asmara, musik, cara pembibitan ikan gurameh, cara berjualan online, buku, sampai media-media penyebar informasi yang mulai beralih dari konvensional ke digital.

Dari situlah muncul ide mengenai akun instagram, selain sarana sebagai menyebarkan informasi yang bersifat softnews, kiranya cocok untuk mengisi kegabutan kami kala itu. “Nggawe akun instagram ae. Jenenge kabarpare.” celetuk salah seorang teman yang dari celetukan itu akhirnya menjadi cikal bakal kabarpare. Saat itu juga, Lutfi seorang teman asli Solo yang sedang menikmati hidupnya di Pare, dengan sigap mengambil gawai dan membuat akun instagram bernama kabarpare. Seketika itu juga saya memotret Warung Tansu dan saya jadkan postingan pertama di kabarpare dengan judul “Kopitan”, singkatan dari kopi dan ketan.

Setelah itu, obrolan terus berlanjut. Kami mulai menjadi komentator mengenai akun-akun publik di instagram, khususnya di Kediri. Pengamatan asal-asalan kami akhirnya justru melahirkan konsep mengenai visi ke depan dari kabarpare. “Foto nomor dua, atau sekian. Yang terpenting caption.” Maksudnya, meskipun instagram adalah platform “etalase” foto, tapi caption yang informatif, menarik dan memperhatikan kaidah bahasa sangatlah penting. Mengapa? Karena kecelakaan dalam menyusun kalimat bisa berakibat fatal dalam menangkap informasi yang ingin disampaikan, tak jarang pula membingungkan.

Mengenai hal ini, akan saya kutipkan percakapan Konfusius pemimpin, filsuf dan tokoh spiritual dari Tiongkok mengenai pentingnya bahasa sebagai media penyalur informasi :

Saat ditanya apa yang pertama kali akan dilakukannya sekiranya ia menjadi penguasa Tiongkok, Konfusius mengatakan, Membereskan bahasa … Jika bahasa tidak beres, maka apa yang diucapkan tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan. Jika apa yang diucapkan tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan, maka hal-hal yang seharusnya dilakukan tidak bakalan dilakukan. Jika terus begitu, moral dan seni akan memburuk. Jika moral dan seni memburuk, keadilan akan sesat. Jika keadilan sesat, rakyat bingung dan plonga-plongo tak berdaya. Karena itu, tak boleh ada kesewenang-wenangan dalam bahasa yang kita tuturkan. Ini berlaku dalam semua urusan. (Dikutip dari status FB AS Laksana, 26 Juli 2014 Pukul 16.40)

Saya pribadi sering membaca dalam postingan instagram, di bawahnya tertulis “no caption,” bukankah itu tidak membingungkan? Kalau tidak butuh caption mengapa dia membuat caption “no caption?” Kalau tidak butuh caption kan tinggal dikosongi saja, langsung unggah foto. Tentu dengan nada guyon saat kami ngobrol kala itu. Kami juga berkomitmen untuk meminimalisir me-repost, kalau pun harus me-repost, caption harus  bikin sendiri agar tidak dimanjakan dengan hanya klak-klik-posting.

Intinya kabarpare lebih memilih penguatan di caption dibandingkan foto, tapi bukan berarti tidak menganggap penting sebuah foto. Foto tetap penting sebagai ilustrasi, dan caption yang menjelaskannya. Jadi, jika kalian mengikuti kabarpare, jangan sampai melewatkan untuk membaca caption di setiap postingan alih-alih cuma melihat sepintas foto-fotonya. Membaca caption berarti membantu mewujudkan visi kami, juga itung-itung membantu kampanye membaca. Salah satu hal yang menjadi keniscayaan dalam dunia dengan informasi yang berlari cepat seperti saat ini adalah membaca. Dengan membaca kalian akan mendapat banyak informasi dibanding yang lain. Dengan informasi kalian memiliki data sebagai acuan atau pertimbangan dalam menentukan setiap gerak kehidupan. Meminjam judul diskusi yang pernah diselenggarakan oleh teman-teman Sastra Pare, Data Adalah Senjata.

Mengenai nama kabarpare sendiri, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bermula dari celetukan yang spontan. Namun, proses diskusi membawa pada konsep yang lebih jelas dan tegas. Kata kabar mengacu pada informasi. Bisa mengenai apa pun yang ada di Pare atau yang berhubungan dengan Pare, misalnya, nama tempat, tokoh, penggambaran suasana, dan lain sebagainya. Sedangkan Pare yang kami maksudkan di sini bukanlah Pare yang secara batas geografis dan administratif kita kenal sebagai kecamatan saat ini, tetapi Pare yang kami maksudkan adalah  wilayah-wilayah yang dulu menjadi bagiasn dari Kawedanan Pare.

”Kawedanan (“ke-wedana-an”, bentuk Bahasa Jawa) adalah wilayah administrasi kepemerintahan yang berada di bawah kabupaten dan di atas kecamatan yang berlaku pada masa Hindia Belanda dan beberapa tahun setelah kemerdekaan Indonesia yang dipakai di beberapa provinsi (misalnya Jawa Barat dan Jawa Timur). Pemimpinnya disebut wedana (Wikipedia). Kawedanan Pare saat itu meliputi Kecamatan Pare, Gurah, Plosoklaten, Puncu, Kepung dan Kandangan. Itulah mengapa dalam postingan kabarpare juga akan ditemukan konten mengenai kecamatan di sekitar Pare yang dulu menjadi bagian dari Kawedanan Pare.

Selain mengacu pada batas georgafis kawedanan, kami juga mengacu pada batas-batas wilayah secara emosional dan kultural. Wilayah ini adalah daerah-daerah yang secara administratif bukan bagian dari Kecamatan Pare, dan mungkin juga bukan bagian dari Kawedanan Pare, tapi masyarakatnya memiliki ikatan emosional dan kultural dengan Pare. Batasan ini bisa dilihat dari fenomena “siapa saja yang ketika berada di luar kota, saat mengenalkan diri kepada orang lain mengaku sebagai orang Pare” berarti juga bagian wilayah cakupan kabarpare. Karena Pare menurut kami bukan sekedar terdiri dari aturan-aturan administratif, tata letak kota, dan jejeran bangunan. Pare melampaui itu. Pare adalah ruang dimana yang material dan yang emosioanal berada di dalamnya.

Pada saat tulisan singkat ini ditulis, pengikut kabarpare telah sampai pada 10.000. Bukan pencapaian yang fantastis untuk ukuran akun publik yang telah tiga tahun mengudara. Tapi kami sangat menikmati prosesnya, naik turunnya gairah memposting konten, berkenalan dengan beberapa pengikut yang aktif bertegur sapa di komentar, dan yang paling kami banggakan ialah jika konten kami mampu menjadi penawar rindu akan kota tercinta maupun mampu memberikan sedikit informasi yang bermanfaat.

Ke depan, melalui tulisan ini, kami mempersilakan dan mengajak Dulur-dulur untuk berbagi tulisan di situs kami ini. Tulisan apa pun, bisa berbentuk pengalaman di Pare, review tempat, tokoh maupun sejarah, juga bisa berbentuk opini mengenai fenomena aktual, cerpen, puisi atau resensi buku. Monggo!

______________

* Ngadimin

Juru ketik di kabarpare

Recommended Articles