kabarpare.com || kabardesa – Menjadi anak seorang petani adalah kemakmuran tersendiri. Sekali pun masa tanam dan panen hanya terjadi setahun dua kali. Padi Ulu, padi Ketan, padi Gogo, padi Cempa Lele, dan masih banyak lagi nama jenis padi yang dikenalkan simbah dulu pada kami anak cucunya.
Dulunya masyarakat memanen padi menggunakan sistim “ani-ani”, batang yang sudah dipetik nantinya bisa digunakan untuk keperluan lain. Jangan salah, kegunaannya pun beragam. Misalnya dibakar untuk menghitamkan rambut, sebagai kuas untuk mengapur rumah, bahkan dibakar untuk mengusir nyamuk. Beda dengan zaman sekarang, “ani-ani” sudah pudar oleh zaman dan tergantikan oleh mesin selep padi.
Tahap selanjutnya, padi yang menempel di batang akan disimpan di lumbung. Pernah menemui masyarakat yang masih menggunakan lumbung? Atau minimal masih bisa menemui lumbung di desa-desa?
Ternyata di Dukuh Centong Plemahan Kediri masih ada lumbung lho. Meskipun sudah tergerus zaman, tapi wujudnya masih bisa ditemukan. Sebut saja Lumbung Kemakmuran Dukuh Centong yang berdiri sejak 1852.
Simbah dulu selalu bercerita mengenai lumbung padi. Dulu jamannya Simbah, lumbung menjadi alternatif untuk menyimpan padi. Saat panen, padi dikeringkan kemudian disimpan di lumbung namun sebelumnya alas lumbung diberi daun kluwih. Menurut masyarakat Jawa, daun kluwih artinya “jen luwih”
Namun ada juga yang mengambil padi sesuai kebutuhan lalu “diiles”atau diinjak-injak agar semua padi terlepas dari batangnya atau bisa disebut gabah. Gabah lalu dijemur dan dikeringkan, kemudian disimpan di sebuah peti yang terbuat dari kayu. Gabah kering diambil sesuai kebutuhan lalu ditembuk menggunakan lesung yang terbuat dari kayu. Padi yang terkelupas dari kulitnya nanti akan menjadi beras dan disimpan di gledheg.
Tapi dulunya, tidak semua disimpan di lumbung. Yang tidak mempunyai lumbung biasanya akan menggantung padi di pagar atau menyimpannya di pedaringan, sebuah tempat khusus untuk menyimpan beras.***
___
*) Widya Arum