New Normal dan Mereka yang Paling Siap Menghadapinya
Covid-19, lockdown, karantina wilayah, isolasi, PSBB adalah beberapa istilah yang mungkin sama sekali tidak pernah kita dengar sebelumnya. Istilah-istilah ini mulai akrab dan acapkali digunakan dalam percakapan sehari-hari. Dalam konteks berbahasa, bukankah ini sesuatu yang baru? Tidak sama sekali baru, tapi mungkin bisa dikatakan aktivitas berbahasa yang baru, sesuatu yang normal tapi belum pernah terjadi sebelumnya di dalam masyarakat kita. Tanpa kita sadari, apakah ini juga bisa dikatakan sebagai kenormalan yang baru?
Selain istilah-istilah di atas, akhir-akhir ini kita, mungkin hampir setiap hari, mendengar dan membaca istilah new normal – suatu kenormalan baru. Apa maksudnya? Kita akan mengahadapi sebuah tatanan kehidupan berdasarkan standar (kenormalan) yang baru. MIsalnya, dulu saat bepergian atau terjun ke lingkungan sosial, maka kita harus pakai baju. Harus menutupi anggota badan kita. Dan itu adalah sesuatu yang normal, yang tidak normal, adalah kebalikannya. Berjalan-jalan tanpa busana – pelakunya biasanya dicap sebagai orang gila.
Dalam new normal terjadi restrukturisasi aturan-aturan kehidupan baik melalui simbol-simbol budaya (yang baru) di masyarakat atau yang bersifat struktural (yang dibuat pemerintah). Orang tidak hanya cukup dengan memakai baju dan celana jika harus keluar rumah, tapi juga harus memakai masker, saling menjaga jarak, dan serajin mungkin cuci tangan. Bahkan salah seoarang filsuf terbesar abad ini, Slavoj Zizek, mengatakan bahwa setelah pandemi ini bentuk ungkapan cinta akan berbeda sama sekali, jika sebelumnya dengan berpelukan dan berciuman, maka setelah pandemik bentuk ungkapan cinta adalah dengan menjaga jarak. Bisakah kalian menjalani tatanan baru seperti itu? Bagi yang jomblo tentu bukan masalah serius, bahkan diam-diam mungkin akan berkelakar dalam hati, “kau dan aku sama saja. Jomblo dan punya pacar sama-sama hanya bisa melihat dengan jarak tidak kurang daru satu meter.”
Berdasarkan pantuan Ngadimin Kabarpare dalam postingannya di instagram (30/5/2020), sebagian besar netizen (di Pare) berpendapat bahwa tidak ada yang berubah sekalipun new normal diterapkan. Bisa dimaklumi pandangan tersebut, karena mereka melihat kegagalan PSBB – terutama aturan mengenai kerumunan yang sebenarnya tidak boleh terjadi, yang nyatanya di beberapa daerah (termasuk Pare) tidak terbendung saat menjelang Idul Fitri. Kerumunan manusia berjubel di pasar dan mall-mall untuk membeli kebutuhan lebaran tanpa mengindahkan physical distancing. Tapi new normal tidak sekedar menghindari kerumunan. Ada sebuah kodifikasi baru mengenai tatanan kehidupan, misalnya, orang akan memasang muka sinis jika kalian tidak memakai masker, terlebih jika batuk atau bersin. Kecurigaan yang menjadi bagian dari tafsir baru dalam merespon tingkah laku manusia, mungkin nanti orang bersin di depan orang lain bisa jadi sama nilainya dengan orang meludah tepat di depan orang lain.
New normal sebagai sebuah cara hidup baru bisa diartikan juga sebagai sebuah kultur baru. Memang bukan sesuatu yang mudah menerapkan aturan hidup baru, apalagi sampai menjadi sebuah kultur baru menggantikan yang lama. Akan tetapi tidak ada pilihan lain, kita harus move on. Dalam penerapan new normal ini, negara hanya punya dua pilihan: menjadi otoriter atau inklusif dan persuasive terhadap masyarakatnya. Dan kita sebagai masyarakat, silakan nilai sendiri di mana kita seharusnya berpijak.
Sebagian orang akan menganggap new normal sebagai sebuah “kehilangan” akan kenyamanan yang sudah ada sebelumnya, sebagian lagi mungkin lebih tegar menatap ke depan, sebagian lagi mungkin tak acuh dengan semua itu. Tapi yang pasti ada kaum-kaum yang paling memiliki imunitas kuat menghadapi new normal sehingga juga paling siap: petualang cinta dan tuna asmara abadi – istilah keren dari jomblo menahun. Mengapa begitu?
Bagi kaum pertama, kenormalan baru bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Mereka sudah terbiasa merasa memiliki sekaligus merasa kehilangan. Yang mulanya tidak berkekasih, mereka menjadi berkekasih saat ketemu lawan jenis yang dinilai cocok. Kecocokan ternyata adalah tafsir yang premature, karena tak lama dia akan meninggalkannya demi kecocokan yang lain. Dan kamu – petualang cinta – akan merasa kehilangan, sakit hati, perih dicabik-cabik. Dari tak memiliki, menjadi (merasa) memiliki, saat putus, menjadi tak memiliki lagi. Tapi tak lama kemudian, kamu juga akan menemukan kecocokan baru lagi, merasa memiliki lagi. Putus lagi. Begitu seterusnya. Tidak memiliki menjadi memiliki adalah kenormalan baru, begitupin dari memiliki menjadi tak memiliki. Mbulet toh? Bahkan kenormalan baru ada di dalam kenormalan (saat ini) bagi kaum ini.
Bagi kaum kedua, mereka terbiasa mengatakan, “Malam Minggu nggak malam Minggu sama saja.” Intinya ya gitu-gitu aja. Apa yang baru dan apa yang lama tidak ada bedanya. Mereka tidak merasa kehilangan pun tidak merasa memiliki. Bagaiamana bisa kehilangan, memiliki aja tidak, ya toh?