Penolakan Jenazah dan Kekalahan (Ke)manusia(an)
Sejak dua hari lalu, jagad medsos kita dipenuhi dengan berita mengenai penolakan jenazah perawat yang positif Covid-19 di Semarang, tepatnya di Dusun Siwakul, Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Serentak masyarakat medsos merespon penolakan tersebut. Penolakan tersebut dianggap tidak manusiawi, bahkan terlampau jahat. Jika semua komentar diikat menjadi satu ungkapan, kurang lebih menjadi “sungguh teganya.”
Merebaknya virus yang berasal dari Wuhan sejak awal tahun dan baru ramai di Indonesia sekitar akhir Februari ini memang membawa dampak yang cukup besar. Tidak hanya dalam bidang ekonomi, medis maupun politik (dengan kebijakan-kebijakan yang diambil), namun juga menyentil rasa peduli dan kemanusiaan setiap orang. Bagaimana manusia yang satu saling bekerja sama dan membantu dalam melawan wabah ini. Bagaimana manusia bisa saling jujur untuk melindungi satu sama lain. Kejujuran dan kerjasama adalah kunci, karena di dunia yang semakin maju ini, yang diperlukan adalah informasi dan kepedulian satu dengan yang lain.
Yuval Noah Harari, penulis buku bestseller Sapiens yang juga Profesor di Department of History Hebrew University of Jerusalem, dalam tulisannya “Dalam Masa Perang Melawan Coronavirus, Kemanusiaan Tanpa Kepemimpinan” menyampaikan bahwa untuk menangkal sebuah wabah bukan segregasi yang dibutuhkan melainkan kerjasama. Yuval berbicara dalam konteks global, hubungan kerjasama antar Negara. Menurutnya, karantina dalam bentuk isolasionisme sangat berguna dalam jangka pendek saja, untuk waktu yang lebih lama, hal itu menjadi sia-sia. Dia memberi contoh penanganan wabah dari masa ke masa, mulai dari Black Death di Abad ke-14 sampai cacar yang baru benar-benar bersih di abad ke-21.
Apakah wabah-wabah tersebut berhasil dihentikan karena isolasionisme? Tidak. Mungkin saat ini kita sering melihat adik-adik atau anak-anak kita yang menderita cacar, pernahkah kalian mengira kalau saat itu cacar adalah penyakit mematikan yang mungkin lebih ganas dari Covid-19? Saat itu, informasi medis mengenai cacar masih sangat minim. Bahkan dalam banyak tradisi penyakit itu disebabkan oleh kutukan, maka tiada lain untuk menangkalnya hanya dengan membaca mantra dan do’a. Dan kita tahu, itu tidak berguna saat ini.
Lalu apa yang menghentikan wabah mengerikan itu saat ini? “Ini karena pertahanan terbaik manusia terhadap patogen/parasit bukanlah isolasi–tapi informasi. Kemanusiaan telah memenangkan perang melawan epidemi-epidemi karena pertempuran antara patogen/parasit dan dokter, patogen/parasit mengandalkan mutasi buta sedangkan dokter mengandalkan analisis informasi ilmiah.” (https://kronologi.id/2020/03/25/dalam-masa-perang-melawan-coronavirus-kemanusiaan-tanpa-kepemimpinan/) begitulah pandangan Yuval Noah Harari mengenai bagaimana seharusnya kita mengahadapi epidemi yang telah menjelma menjadi pandemi global ini – selalu memperkuat pertahanan terbaik kita.
Meskipun tulisan Yuval diperuntukkan untuk mengomentari kondisi global, tetapi sangat relevan untuk melihat kasus-kasus parsial yang ada dalam dunia kita sehari-hari, termasuk mengenai penolakan jenazah seorang perawat di Semarang tersebut. Yang perlu menjadi perhatian lebih ialah bukan karena jenazah tersebut adalah jenazah seorang perawat, namun bahwa jenazah tersebut adalah jenazah seseorang yang telah berjuang dalam bidang keahliannya untuk melawan virus ini. Jadi bukan hanya perawat, seorang supir ambulance, petugas kebersihan, penyuluh kesehatan, atau siapa pun yang dengan profesinya telah secara aktif berjuang melawan virus ini harus dihargai, dan tentu saja penolakan jenazah tersebut adalah luka bagi kemanusiaan kita.
Sekali lagi, kerja sama atas nama kemanusiaan adalah kunci dalam menghalau persebaran virus ini. Bayangkan jika antar manusia yang satu dengan yang lain saling berebut selamat hingga pada titik irasioanal, bukankah kita kembali ke abad-14? Dimana kita merapal mantra untuk diri kita sendiri sedangkan virus ini bergerak dengan cepat dan menyebar ke segala arah?
Penolakan terhadap jenazah Covid-19 juga merupakan bukti salah satu kekalahan (ke)manusia(an) dalam menghadapi virus. Karena informasi yang menjadi pertahanan terbaik manusia saat ini telah jebol, informasi tidak terjangkau bukan hanya karena akses yang terbatas, tapi terkadang karena ego yang tidak mampu ditekan. Saat ini informasi menganai protokol pemakaman jenazah positif Covid-19 sudah sangat mudah didapatkan, dan bagaiamana tingkat keamanan terhadap penularan kepada manusia yang hidup. Mereka yang menolak jenazah tersebut apakah sudah membaca informasi bahwa jenazah Covid-19 telah didisenfeksi, lalu dibungkus plastik yang tidak tembus air, kemudian juga masih dimasukkan peti jenazah dengan ketebalan kayu minimal 3 cm. Peti dipaku di beberapa bagian lalu disegel menggunakan sililkon. Dan menurut pandangan medis, protokol ini sudah aman.
Jika kita mengetahui informasi tersebut, bukankah kita benar-benar menjadi manusia yang tidak berperikemanusiaan jika menolak jenazah yang telah berjuang melawan virus yang ditakuti, bahkan yang menjadi alasan mereka menolak? Dan jika memang belum tahu mengenai informasi ini, bukankah kita kalah dalam beberapa langkah dengan virus ini? Arus informasi sangat pesat dan begitu mudah kita akses. Jadi, marilah kita lebih bijak dalam menyikapi setiap hal berdasarkan informasi yang valid, dan bersama-sama menempatkan kemanusiaan di atas segalanya untuk melawan virus corona ini. Bukankah tidak berarti sama sekali jika manusia mempertahankan hidup tapi kemanusiaan itu sendiri telah mati?
Daftar pustaka:
https://www.alodokter.com/ditangani-sesuai-protokol-jenazah-covid-19-tidak-akan-menularkan-virus
https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/10/164500165/jenazah-perawat-rsup-dr-kariadi-semarang-ditolak-warga-perawat-kenakan-pita
https://kronologi.id/2020/03/25/dalam-masa-perang-melawan-coronavirus-kemanusiaan-tanpa-kepemimpinan/