Risalah Gelisah, Komunitas Sekolah, dan Bumi Desa

Idi dan Mayong senang membicarakan keadaan desa, paling tidak tentang desa mereka masing-masing. Dengan bercerita tentang desa, mereka bisa menyelipkan curahan hati di dalamnya yang merasakan rindu akan kenyamanannya. Bagaiamana masa lalunya dengan keluarga dan tetangga, merasa cukup congkak dan paling maju di antara pemuda desa yang lain dalam memikirkan desa. Dalam ceritanya itu, mereka menampilkan kondisi desa masing-masing serta menggeneralisir secara sembarangan, yang sangat terpuruk atau ada unsur kurang majunya, sehingga kemudian secara heroik muncul sebagai Messias sang pembawa pesan yang selalu mendapat rintangan.

Desa adalah tempat yang mereka rindukan, suasana dan nuansanya. Selalu mendamaikan hati bagi jiwa-jiwa yang ingin pulang. Jiwa yang meletakkan sebagian besar urusan pada kebesaran Sang Hyang, bukan hanya kegiatan mengakomodasi syaraf otak. Sawah-sawah yang terhampar luas. Tua maupun muda, laki-laki dan perempuan, terkadang juga terlihat anak-anak mereka berada di sawah. Bercak lumpur dan basah pakainya, dimar arit cangkul di pundak, mereka berangkat meninggalkan hangatnya rumah sejak pagi, sementara para perempuan dan anak-anak akan menyiapkan bekal untuk sarapan dan makan siang bersama.

Mereka adalah penghias muka bumi, seniman yang membuat siapapun akan mengalami sensasi rekreasi saat melihat kegiatan dan hasil mereka. Tak ada yang menyangkal, mungkin pekerjaan mereka menjadi sebuah jenis dalam berkesenian, tepatnya kesenian menjalani hidup. Syarat filosofi seperti saat menumbuhsuburkan anak-anak mereka sendiri, menjaganya dari tangan-tangan yang usil dengan sabar. Sebuah kegiatan yang kini jarang diminati anak muda karena jauhnya dari mimpi kesuksesan. Namun petani yang melek akan posisinya akan melawan pencuri ruang yang kikir, yang membuat nestapa manusia-manusia udik. Pahlawan yang gagah jiwanya itu akan hanya berpesan untuk anaknya: “Tunggulah di rumah sayang! Biar kuhadapi ini!”

Idi berfikir kenapa dia tak seperti sanak saudaranya, kakek-kakeknya yang bekerja di alam desa. Kenapa dia selalu terdorong untuk sekolah terus-menerus, dia tak tahu, dia melakukannya begitu saja sambil was-was jika sampai tidak naik atau tidak lulus. Sepengetahuanya, sawah memang begitu dihindarkan darinya, ada tembok kaca tebal yang menghalanginya untuk masuk ke petak-petaknya, ada pihak yang memang segaja mencerabutnya dari kebudayaannya sendiri demi mengikutsertakan seseorang seperti Idi dengan komunitas sekolah dengan tawaran masa depan menjanjikan.

Komunitas sekolah itu juga menurutnya membingungkan. Pada tingkatan kanak-kanak, Idi diminta menghafalkan sebutan negerinya sebagai negeri nan indah bernama Zamrud Katulistiwa. Lalu Negeri Agraris, nan magis yang siap menyulap benda tongkat, kayu, dan batu menjadi makhluk hidup tanam-tanaman. Juga Negeri Maritim paling luas sejagad bernenek moyang pelaut pengembara dan penghubung nusa yang ulung. Namun pada tingkatan lanjut remaja hingga remaja dewasa, dongeng-dongeng itu harus dilupakan. Hafalan yang sudah terukir di langit-langit goa batu kepala harus dilindas dengan daftar mimpi kesuksesan yang ditengarai dengan limpahan harta beserta kemilau kecanggihan yang ada di sekitarnya.

“Yong, jauh-jauh sekolah lantas bekerja kita ini kok masih aja merindukan masa lalu. Bermimpi berdamai di bumi desa”, Idi mencoba bereflektif dengan kawannya seperantauan itu

“Hahaha…jangan naif Di, kita ini orang yang gak kaya. Mimpi itu mahal harganya, tapi lumayan jadi rekreasi saat kita capek jadi sekrupnya mesin modern.”, Mayong malas

“Hei, kalau kita sudah memulainya sejak dulu, kita gak sekadar rindu, kita udah bicara bagaimana hasil panen kita, diskusi harga… mungkin juga udah siap meminang gadis desa. Lihat, kita tua di sekolah dan keluar-keluar begini, alih-alih dari nol, kita kecantol di kota, tabungan nyicil biaya buat beli mimpi terkoyak di tengah kota yang rampok ini. Kita minus besar!”, Idi masih berusaha menerobos

“Salah sendiri boros, cari kerjaan yang bayarannya habis sekali rampok. Haha. Tapi aku sepakat soal gadis desa itu, aku teringat pesan ayahku untuk lekas pulang dan kawin.”, Ejek singkat Mayong

“Ah, pointmu!”

“Kita perlu tahu Di, cara kerja perampok-perampok itu. Di Ayodya sini banyak orang kesasar dan punya mimpi seperti kita. Tidak cukup, bercokol di Bumi Desa dengan tangan kosong, bisa-bisa digilas dan digiling sama mesin punya Tuan Takur….”

Idi sedikit berbinar namun mencoba tetap menjaga gengsi, “Oh, iya ajak aku bertemu dengan orang-orang itu.”

“(melanjutkan)…menjadi anggota komunitas sekolah dapat mempermulus cita-cita kita untuk saat ini. Ya itung-itung kita gak sia-sia amat buat habisin waktu di sana. Kita punya baju untuk menyamar. Menyusup. Sabar. Temui momentum. Nyalakan lilin-lilin di gelap malam Bumi Desa.”

“ah, cuman lilin? Pasar malam aja udah pake sokle”, tanya Idi dengan sebuah simbol

“Seperti punya Tuan Takur itu? Kamu ingin jadi Tuan Takur baru? Jangan muluk-muluk dan berburu-buru. Kalau nanti hal yang langsung mencolok kamu bisa lupa diri karena terpukau.”, Mayong terseret menggunakan simbolisasi

“omong apa sih koe ini Yong?”

“begini Idi..ot, di kita, orang sepertimu itu banyak dan justru jadi masalah kita, maksudku dengan harapan soklemu itu, hambatan kita dalam bermimpi soal Bumi Desa. Komunitas sekolah memberi angin sorga lewat mimpi itu, orang yang sukses adalah yang punya sokle-sokle. Padahal sokle itu barang besar, mahal, langka! Kalau koe anak orang kaya dan hatimu masih seperti jaman susah begini, it’s okay! Tapi jangan naif. Kalau koe sibuk ngejar sokle maka pertama waktumu bertambah lagi, kedua sokle membutuhkan banyak energi dan tempat yang luas itu membuatmu sibuk mengoperasikan dan butuh orang jadi skrupmu, ….”

Idi tiba-tiba memotong normatif, “oke-oke iya, dapet. Iya sih untuk sekadar menerangi cukup nyalakan lilin dulu aja sih.”

“Bumi itu cuman satu Di dan kita sendiri makhluk yang terbatas energi dan usianya. Kita akan habis dan kalah dalam dua hal sekaligus. Sokle gak bakal kebeli, lilin juga gak nyala-nyala. Keburu raksasa-raksasa yang punya sokle itu datang ke Bumi Desa, udah terang (karena sokle)… eeeh lahan udah habis. Bumi Desa dibikin kota semua hamparannya.”

“Tapi Yong, orang-orang Bumi Desa pasti juga banyak yang bermimpi daerahnya maju dan banyak fasilitas seperti yang ada di kota. Kamu juga jangan naif! Seiring berjalannya waktu orang juga berubah dan memiliki kebutuhan yang berbeda.”

“Iya kamu bener, pembangunan tak bisa dihindari, itu bagian dari perkembangan. Tapi kalau dalam membangun ternyata banyak yang rusak, hal-hal mendasar seperti lahan padi kita dijajaki? Dan semua orang Bumi Desa di penjuru negeri bermimpi sepertimu? Apakah pada bagian itu tidak perlu untuk direm?”

“Otakmu oke juga ya kalau soal gini Yong. Bangga aku punya kawan sepertimu.”, Idi seperti lelah sendiri mendengar tanggapan yang Ia mulai sendiri

“Asu!”, pungkas Mayong

Tak disadari terjalin di antara Idi dan Mayong, kesepakatan soal komunitas sekolah yang banyak habisin waktu juga yang alih-alih membuat terang malah bikin bingung itu malah bikin orang terjatuh dan tersesat di tengah kota. Bumi Desa harus buktikan diri, tak terbelalak dengan kemilau komunitas sekolah bergerbang dongeng indah itu dan bisa mendidik anak-anaknya sendiri untuk terbiasa saling bergotong royong bersejahtera bersama. Lalu juga yang penting untuk menganggap alamnya bernyawa dan siap membalas dengan petaka apabila dirusak. Bumi Desa bukan tempat wisata semata, namun di balik keindahannya ada pilihan yang tepat dan teguh. Turis-turis tak boleh menggoyahkan pilar itu.

Komunitas sekolah akhirnya harus berfikir jika ingin bersahabat dengan Bumi Des,a harus menyadari posisinya dan lebih baik menurunkan mimpi-mimpinya ke bumi jika terlampau melayang. Dengan begitu, martabatnya akan terjaga: berisi orang-orang berfikir dan memiliki perasaan yang halus.

 

__________________________

Oleh : Samsul Wahab (Tutor Partikelir)

Recommended Articles