Semangat untuk malas.
Walau malas tetap semangat.
Semangat-semangat agar bisa malas.
Malas-malasan siap-siap semangat.
Semangat malaslah.
Malaslah dengan semangat.
Jangan pisahkan dua hal yang memang tak bisa dipisahkan.
Semangat malas! semangat malas!
Ayodya, masih di tahun Sembah Surga Raja Tunggang, aku selami hidup sendiri di pojokan kamar tidurku yang sempit, lembab, dan beralaskan spon tipis sebagai sekadar prasyarat antisipasi masuk angin. Orang yang linglung tanpa pekerjaan beresiko sangat tinggi. Ia bisa menanyakan seluruh hal dalam perenungannya di “gua manusia purba”. Membenamkan diri ke dalam palung peradaban, melemparkan sukmanya jauh ke ribuan tahun yang lalu. Mencoba untuk mendapatkan sebuah kepuasan jawaban. Membayangkan dirinya sebagai manusia pertama di muka bumi. Sehingga memahami apa yang sebenarnya harus Ia lakukan dengan bekal pengetahuan tentang hakikat hidupnya dari pengembaraannya itu.
Mataku mulai cekung. Perutku lapar. Tapi aku baru akan keluar nanti pukul dua dini hari. Dimana perkotaan akan menjelma gua-gua yang ditinggal tidur penghuninya. Aku berburu.
Kudapatkan beras sejumlah dua kepal. Ku pususi debu-debu putih yang menempel di antara ratusan, ribuan butir itu dalam sebuah wadah nirkabel yang bisa ku copot dari perangkat penanak listrik. Ku ulangi hingga dua kali. Dua butir telur ayam juga aku cuci. Yang akan kubagi dengan Mayong. Kumasukan ke dalam wadah tadi. Aku melakukannya dua kali sehari. Setelah itu aku akan menunggu hingga matang. Di situ aku menemui orang pertama kali di hariku, siapa lagi kalau bukan Mayong.
“Kapan kita Yong akan kembali cangkruk dengan orang-orang hebat itu?” tanyaku.
“Nanti sore, jika kau mau. Aku akan bertemu penulis terkenal Ayodya,” jawab Mayong yang sedang sibuk menulis
“Baik. Aku akan bergabung. Eh, tembakau Paiton mu kemarin masih ada?”, aku mencoba memecah perhatiannya itu dengan pertanyaan yang membuatnya sebal
“hmm..” jawabnya bergumam sambil menunjukan dengan kepalanya ke arah sebuah wadah plastik tempat Mayong menyimpan tembakaunya
***
Sebelum berangkat, kami menghabiskan nasi dengan sayur yang dibeli Mayong.
“Loh, kok enak kamu ambil-ambil sayur?” katanya berniat menggoda keadaan kereku ini
“Kan kita bagi tugas yong, aku beli beras dan mencuci peralatan. Kamu yang beli sayur. Yaudah deh, nanti kalau aku ada rejeki aku yang beli”, jawabku lugu
Di warung kopi kami akan bergabung di acara bedah buku Hantu, Presiden, dan Buku Puisi Kesedihan. Harga kopi di tempat itu lebih mahal berkali lipat dari pada kopi yang dijual di warung tegal tempat orang desa laut dari pekerjaan. Mayong membeli kopi dan air mineral botol tanggung, sedang aku tidak karena tidak punya uang. Dalam acara seperti itu, Mayong akan menjadi sangat baik dan jinak, tidak mudah mengejek, kopi batak itu diminum join denganku. Ia pun membeli rokok bungkusan, dan tentu saja, tembakau linting tidak lupa disebelahkan.
Aku telah mempersiapkan ember baskom dalam acara kali ini tak hanya gelas kosong. Tak kan aku siakan. Mayong memang pandai dalam mencari momen-momen yang sangat berharga pagi pegiat gagasan dan kesusasteraan. Dan tak segan mengajak manusia di sebelah kanan-kirinya.
Acara itu dipandu oleh seorang moderator perempuan. Sang penulis mengikuti panduan dan terkadang mengerjai si moderator muda, dengan menawar panduan-panduannya semau penulis sendiri. Rangkaian itu dimulai dari bagaimana proses kreatif yang dilakukan selama sepuluh tahun penulisan dilakukan hingga pembacaan sebuah puisi dalam salah satu antologi cepennya itu. Saat yang dinanti tiba, sesi tanya jawab yang biasanya berhadiah oleh-oleh menarik.
“Sebenarnya dalam menulis, ide bukanlah hal yang sulit didapatkan. Namun bagaimana mengeksplorasi lebih lanjut, menindaklanjuti ide tersebut sehingga membawa pembaca ke dalam ruang gagasan yang sama dengan yang penulis coba ciptakan”, si penulis menjawab sebuah pertanyaan yang masih kuingat
Pertanyaan selanjutnya dilontarkan Mayong, momen pemuda pengoceh dan pemberani itu sangat aku nantikan karena diriku merasa terseret bangga saat temannya dapat berkontribusi dalam sebuah acara.
“Bagaimana mas dalam menyikapi, tulisan beberapa tahun yang lalu itu ketika dibaca sekarang akan terasa dan terkesan sangat norak bagi saya sekarang ini?”, pertanyaan Mayong menggelitikku, itu senada dengan fenomena-fenomena status di sosial media yang tertulis di dinding maya di masa silam dan terkesan sangat alay sehingga membuat malu.
“Yah, menurutku perkembanganku dalam menyikapi ide gagasan waktu itu juga sesuai dengan kapasitas kemampuanku saat itu. Kita akan bertindak tidak adil ketika menganggap kita di masa lampau itu adalah hal yang memalukan”, jawaban penulis disambut tawa ceria mengiyakan pernyataan itu
Sesi tanya jawab telah ditutup, dadaku berdegup sesungguhnya aku ingin juga membuat sebuah pertanyaan. Tiba-tiba sang moderator memberikan toleransi,
“Apakah ada yang ingin bertanya lagi sebelum acara ini diakhiri?”
Aku dengan gugup mengacungkan tangan. Aku dipersilakan. Microfon telah kupegang. Dan aku akan bertanya, sebelumnya, aku mengenalkan diri,
“Dunia gagasan dan ide menurutku adalah dunia yang sangat dekat batasnya dengan mood dan rasa malas. Berbicara tentang produktivitas, semua pekerjaan sebetulnya juga produktif, namun berbeda dengan mempertahankan gagasan dan ide. Kiiat untuk tetap termotivasi dalam hal ini kira-kira apa? Dan bagaimana mas bernegosiasi dengan rasa malas itu?”
Ah tanpa kuketahui, di depan situ ada seorang penulis terkenal, salah satu bukunya “Kita Semua Pernah Sedih” yang sering kutemui namanya di rak-rak toko buku terkenal.
“Saya sebenarnya nggak malas-malas banget ya. Haha… Tulisan saya itu lumayan banyak. Ya karena pekerjaan saya, saya tidak begitu menikmati proses membaca dan menulis. Artinya saya ingin mendapatkan kepuasan tersendiri saat berhasil menulis”
“Cara saya adalah dengan menantang diri saya sendiri. Saya menciptakan bantuan dengan membuat kontrak dengan pihak lain, yang menantang dan mendorong saya untuk produktif. Kalau tidak ingin malas menulis, tinggalkan pekerjaan lain selain menulis. Haha. Itu berbahaya tapi saya pikir banyak membuat penulis berhasil dan tidak malas” jawabnya santai.
Setelah itu penanya dipersilakan maju kedepan mengambil jatah hadiah dan berfoto bersama. Aku pulang dengan perasaan puas dan bangga telah mengalahkan ketakutan diriku. Ini hadiah pertamaku setelah terakhir mendapatkan hadiah hasil olah pikirku saat kelas 2 SD, saat itu aku rangking tiga di kelas.
Sebuah buku bertandatangankan penulisnya dan sebuah pesan: JANGAN MALAS ☺
____
Samsul Wahab
*Penulis adalah petani juga pengajar partikelir paruh waktu