kabarpare.com || cerpen – Cangkrukan adalah tempat yang paling moderat untuk Idi. Di sana tiap orang melepas penat dari rutinitas, berkeluh, dan bersuka cita. Cangkrukan adalah pusat studi alami non-institusi di tengah masyarakat. Pengolahan informasi mulai dari isu sekelas bakul “bakul ethek” hingga yang paling populer tentu: berita nasional yang disiarkan televisi. Sistemnya mengalir dan acak, terkadang hanya basa-basi, sharing kemumetan, berhasil menembus serius, hingga terjun ke arena gelap konspirasi elit global. Idi dan Mayong terlibat dalam suatu cangkrukan dengan orang-orang bijak di malam itu, dan tentu tema-tema serius berpeluang lolos menjadi obrolan. Sebuah tema seius yang hangat dibahas malam itu: kebangsaan. Berat!
Tahun politik memang sangat riskan bagi persatuan dan kesatuan, begitu kata media-media massa. Dan cangkruk menetralisir keadaan penuh radikal bebas itu, ia memiliki peran yang penting di tengah-tengah masyarakat, i d e a l n y a. Pola cangkrukan itu dinamis dan cair alias ngalor-ngidul banyak nyari hal yang bersifat menyenangkan, menimbulkan tawa, motivasi yang menyengat, suasana yang hangat, dan perbedaan status yang tak kentara. Sepelik apa pun permasalahan disampaikan, yang mungkin tidak sampai dibahas, atau dibahas namun tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Cangkrukan waktu itu di sebuah, sebut saja: Angkringan Kebangsaan di Ayodya. Berbagai orang hadir, dari berbagai penjuru beserta bentuk luar dalamnya yang berbeda-beda. Idi, Mayong dan termasuk orang yang berbeda-beda tadi menggelisahkan diri pada peliknya tahun perpolitikan yang bergulir waktu itu yang melibatkan calon pemimpin yang menunggangi “pendoa”.
“Apa kita sebenarnya masih punya harapan terhadap jaminan hak akan keberadaan agama dan keyakinan nenek moyang yang sudah ada sejak sebelum negara ini berdiri?”, tanya seorang yang mengenalkan diri datang dari Bumi Batak. Pertanyaan itu membuat seluruh orang di sana tersinggung, yang mungkin adalah penganut mayoritas dan relatif lebih diutamakan dibandingkan orang-orang yang sering tersebut di permukaan sebagai agama keyakinan “NON-”.
“Itu memang hal yang sulit dan sedang menjadi kegundahan kita semua. Jujur saja, kita belum punya solusi sampai sekarang untuk mengatasi hal yang sebenarnya bukan menjadi masalah dalam urusan bernegara. Tapi kita tidak boleh pesimis, kitalah yang akan membuat harapan itu ada.” Jawab seorang tua bijak yang kebetulan orang NON, semaksimal mungkin.
Pertanyaan lain muncul dan lebih abstrak dari pertanyaan sebelumnya,
“Apakah generasi sekarang ini, yang memiliki peran penting di masa depan, semua sudah kehilangan ‘roso’ nya? Kita lihat pesekolah-pesekolah kita, naradidik-naradidik kita, sudah malas untuk mengikuti cangkrukan. Mereka disibukkan oleh urusan tugas dan bermain. Menganggap bahwa tukar rasa sepeti ini seperti buang-buang waktu.”
Mayongpun memberikan reaksi,
“Saya ikut tersinggung ya kali ini. hehehe..”, disambut dengan tawa. “Saya sebenarnya sudah lulus sebagai pesekolah strata pertama, namun saya turut merasakan apa yang masnya rasakan tentang ‘roso’. Saya juga bagian dari mereka. Senasib dengan mereka. Jujur saja saya merasa bingung dengan output yang sebenarnya diinginkan oleh sistem sekolah kita. Sekolah memberi kita kesibukan luar biasa. Tujuannya agar kita memenuhi kriteria pekerja. Kita menjadi pekerja yang baik dan taat.
Namun kenyataannya setelah saya sendiri lulus, saya sulit sekali mendapatkan pekerjaan berdasarkan kriteria lulusan sekolah itu sendiri, kecuali saya punya kenalan orang dalem. Praktek tersebut juga yang menjadikan cita-cita untuk mendekatkan sekolah dengan kebudayaan hanya sebagai jargon belaka. Kami ini generasi yang bingung. Barang kali kita sebenarnya perlu tunggangan laiknya raja, untuk membawa kita kesana?”
Idi mencoba mengamati dan mencerna secara mendalam dialog cangkrukan tersebut. Seorang tua bijak tadi pada akhirnya bersarang pada ide normatif, hanya memberikan motivasi yang tetap membuat permasalahan yang dihadapi hanya sebatas kode yang tetap harus dipecahkan lagi dan lagi.
“Ya kalau seperti itu, berarti konsep-konsep perubahan ada pada pundak kalian. Tunggu saja kami sebagai ‘the last mohican’ ini habis.. hahaha (disambut tawa) kalian harus memiliki semangat tiada akhir.”
Orang tua bijak yang lain memberikan sebuah rumusan tentang semangat itu,
“Orang-orang yang sekarang menjadikan diri mereka maju adalah orang yang berpikiran maju ke depan. Di masanya pasti mengalami kegalauan juga. Tapi mereka tetap bertahan, berusaha yang terbaik dan satu lagi yang penting yaitu bangga menjadi BEDA.
”Seperti biasa, pada akhirnya cangkrukan tidak selalu memberikan solusi. Semua pulang dengan renungannya masing-masing. Dalam hitungan mundur, jika waktunya tiba, rangkaian renungan hasil cangkrukan itu akan meledak menjadi teror-teror perubahan, dan ya, berubah, h a r a p a n n y a. Idi menjadi gelas kosong saat itu, dan pulang dengan isi penuh. Ia nampaknya haus, dan harus membawa gelas yang lebih besar lagi pada cangkrukan selajutnya.
___
Samsul Wahab
*Penulis adalah petani juga pengajar partikelir paruh waktu