kabarpare.com – Ada fenomena unik yang dilakukan setiap hari di Kampung Inggris, sebuah kampung kecil di Jawa Timur, yang kamu juga pasti sudah tahu dimana itu. Selepas subuh, hampir di seantero kampung, berjajar anak-anak muda di pinggir jalan. Sebagian anak muda ini berdiri di satu sisi jalan, sebagian lagi di sisi jalan lainnya. Satu orang berhadapan dengan pasangannya di seberang jalan.
Mereka berbaris rapi, sambil sesekali bercanda dengan kawannya. Menunggu komando dari seniornya. Begitu mendengar aba-aba mulai, anak-anak muda ini mulai berbicara dengan pasangannya. Sekadar berkenalan, berdiskusi, berdebat, hingga saling bertanya dan menjawab tentang apa saja yang terlintas di kepala mereka.Tentu saja harus bersuara keras, kalau perlu sampai muncrat, semakin muncrat semakin bagus. Agar bisa didengar pasangannya di seberang jalan. Pakai Bahasa Inggris pula. Betapa eloknya pemandangan ini. Pemandangan yang bisa kamu temui setiap hari di Kampung Inggris, Pare.
Praktek melatih percakapan Bahasa Inggris semacam ini sudah dilakukan selama bertahun-tahun di kampung ini. Setiap hari, kecuali akhir pekan. Dengan semangat practice makes perfect, para pengajar mendorong siswanya untuk praktek kapan saja, di mana saja. Apapun aktivitasnya, mulai bangun tidur hingga mau tidur lagi.
Tak heran jika di kampung ini, kita biasa mendengar orang bercakap-cakap dengan Bahasa Inggris di warung kopi atau dari percakapan orang-orang yang lewat di jalan. Tidak ada rasa sungkan, atau takut dibilang keminggris. Hal yang sangat biasa. Bahkan, praktek percakapan ini seringkali terngiang-ngiang di kepala melebihi lagu terpesona, hingga sampai terbawa ke alam mimpi. Tak hanya satu atau dua siswa yang mengigau menggunakan bahasa Inggris ketika tidur.
Kalimat practice makes perfect memang menjadi senjata utama para pengajar di kampung ini untuk mendorong siswa berani berbicara. Terbukti, kalimat tersebut tertulis pada buku-buku siswa, dinding kelas, ruang kantor bahkan pada tembok-tembok di kamar siswa.
“Salah tidak mengapa, yang penting berani dulu. Nanti juga akan sempurna,” begitu terang pengajar.
Dulu, ketika saya datang pertama kali ke kampung ini sekitar tahun 2003, kalimat ampuh ini juga yang bisa memaksa saya untuk berbicara dalam Bahasa Inggris. Tentu saja ini baik. Sangat baik bahkan. Cukup ampuh mengatasi karakter siswa di Indonesia yang pemalu; yang, jika tidak dipaksa di kelas, mending orang lain yang mendapat giliran. Apalagi ini urusan berbicara bahasa Inggris. Salah satu mata pelajaran yang paling sering ditinggal kabur sejak zaman sekolah.
Masalahnya timbul jika kalimat ampuh ini berhenti pada mendorong siswa untuk praktek dan praktek saja. Tanpa memperbaiki dan menambah pengetahuan baru. Maka yang terjadi adalah ruang-ruang belajar yang menciptakan broken-English broken-English pada dunia pembelajaran bahasa di Indonesia.
Sebut saja frase not until untuk menyatakan ‘tidak sampai’ yang salah tempat. Atau kalimat I wait wait untuk menyatakan ‘aku tunggu-tunggu’ dan sebagainya. Meski terkadang disampaikan dengan gaya guyonan, tetap saja berbahaya!
Fenomena inilah yang masih lestari terjadi di kampung kecil ini hingga saat ini. Terjadi pembiaran terhadap malpraktek semacam ini. Bahkan ironisnya, terkadang para pengajar lah yang menyampaikan broken-English semacam ini di hadapan siswa. Dengan dalih guyonan untuk membuat kelas lebih hidup. Tak masalah jika pengajar tersebut kemudian memberikan penjelasan tentang bagaimana kalimat yang benar seharusnya digunakan, ironisnya, seringkali tidak. Ini yang sangat disayangkan.
Kualitas pengajar seperti ini memang menjadi salah satu pemicu persoalan tidak berkembangnya kualitas pengajaran di kampung ini. Kaderisasi yang tidak terencana menjadi alasan utamanya.
Asal kamu tinggal lama di kampung Inggris dan lancar berbahasa Inggris, maka kamu bisa menjadi pengajar bahasa dengan mudah. Tanpa basa-basi. Tak heran jika saya sering melihat ada kelas di mana kata pengajar adalah kebenaran. Sungguh tidak bisa diterima. Apalagi di dunia bahasa yang selalu berkembang.
Parahnya lagi, kekeliruan berbahasa di Kampung Inggris juga terjadi pada hal yang lebih pokok dan prinsipil, yaitu bahan ajar. Saya ambil salah satu contoh, materi tenses, misalnya. Sebagian besar lembaga kursus di Kampung Inggris, meskipun tidak semua, menggunakan konsep 16 rumus tenses. Padahal kalau kita mengacu pada buku-buku referensi berbahasa Inggris, seperti Understanding and Using English Grammar tulisan Betty Azar, atau Modern English tulisan Marcella Frank, rumusan tenses hanya memiliki 12 bentuk, bukan 16.
Saya kok menjadi miris membayangkan jika kekeliruan ini tidak segera dikoreksi, dan diajarkan kepada ribuan siswa setiap bulannya. Kemudian ribuan siswa tersebut kembali ke kota masing-masing dengan pemahaman yang keliru. Betapa kita, saya dan pengajar-pengajar di Kampung Inggris, ikut bertanggung jawab terhadap kekeliruan yang menyebar ke seluruh penjuru Indonesia.
Saya punya satu cerita lagi, tentang bagaimana kekeliruan berbahasa menyebar luas, tidak berhenti hanya di Kampung Inggris saja. Pernah suatu ketika seorang kawan mengunjungi saya di kampung kecil ini. Sambil marah-marah, kawan saya ini bercerita. Dia habis berdebat hebat dengan rombongan pengajar dari kampung bahasa ini, yang sedang mengisi program Bahasa Inggris di sekolah SMA di kampungnya.
Apa masalahnya?
Ketika memberikan pengajaran, rombongan ini membawa buku panduan yang kaku dan tidak bisa ditawar penggunaannya.
“Masa untuk menanyakan kabar hanya boleh menggunakan How are you? Dan menjawabnya hanya boleh menggunakan I’m fine.” tambahnya. “Kalau saya sedang tidak sehat, masa tetap menjawab I’m fine? Ada-ada saja.” marahnya makin menjadi-jadi.
Inilah alasan mengapa penerapan kalimat practice makes perfect tanpa terus belajar dan berkembang bisa berbahaya. Ini juga alasan kenapa setiap kali saya ketemu orang yang menggunakan broken-English, meskipun alasannya hanyalah sekedar guyonan, saya merasa perlu untuk meluruskannya.
Bayangkan betapa berbahayanya dampak kekeliruan yang bisa menyebar luas ke seluruh Indonesia jika Kampung Inggris tidak mau berbenah, atau tetap berjalan tanpa kritik. Praktek dan terus praktek berbicara memang memberikan kesempurnaan. Namun, jika yang dipraktekkan adalah kesalahan, maka sempurnalah kesalahannya.
__________________
*S Lainin Nafis
Pengajar serba santai di Kampung Inggris